Redenominasi : Saatnya Kembali ke DINAR
Rencana Bank Indonesia (BI) melakukan penyederhanaan mata uang atau redenominasi rupiah.
”Sudah saatnya kita membuat satu rupiah itu mempunyai arti. Tidak seperti saat ini, kita tidak lagi mengenal nilai dari satu rupiah, bahkan seratus rupiah,” kata Darmin (Pjs Gubernur BI).
Semestinya Bank Indonesia tidak perlu membuat wacana yang aneh-aneh. Sebab, BI merupakan otoritas moneter yang menjaga kestabilan rupiah. “Wacana ini membuat resah masyarakat. Ini kan bertentangan dengan tugas Bank Indonesia,” kata anggota DPR.Apa sebenarnya redemoninasi, berikut penjelasannya:
Redenominasi sebenarnya bukan sebuah hal asing dalam perekonomian. Denominasi mata uang berarti penyebutan satuan harga untuk mata uang suatu negara, baik dalam satuan koin ataupun kertas. Denominasi itu misalkan kita menyebut mata uang dengan besaran Rp 1.000, Rp 100.000, dan seterusnya.
Istilah redenominasi berarti penyebutan kembali atau
penyederhanaan dari satuan harga maupun nilai mata uang yang ada. Satuan Rp
1.000 disederhanakan menjadi Rp 1, misalnya. Hal ini berlaku menyeluruh ke
harga-harga barang dan jasa di negara tersebut. Sepotong roti yang tadinya
seharga Rp 1.000, juga disederhanakan menjadi Rp 1. Dalam hal ini, tidak ada
yang dirugikan dari sistem redenominasi. Tujuannya adalah juga sebagai
efisiensi penghitungan dalam sistem pembayaran.
Redenominasi ini bukan sanering. Istilah terakhir ini adalah pemotongan uang. Bila sanering, maka nilai uang dipotong, namun harga-harga barang tetap. Sanering menyebabkan daya beli masyarakat terpangkas. Misalnya gaji kita besarnya Rp 5 juta, terkena sanering menjadi Rp 5. Sementara harga sepotong roti tetap Rp 1.000. Artinya, daya beli masyarakat akan menurun drastis dengan adanya sanering. Kita jadi tak mampu membeli roti lagi. Biasanya, sanering dilakukan dalam kondisi ekonomi yang tidak sehat dan inflasi yang melejit tidak terkendali.
Redenominasi ini bukan sanering. Istilah terakhir ini adalah pemotongan uang. Bila sanering, maka nilai uang dipotong, namun harga-harga barang tetap. Sanering menyebabkan daya beli masyarakat terpangkas. Misalnya gaji kita besarnya Rp 5 juta, terkena sanering menjadi Rp 5. Sementara harga sepotong roti tetap Rp 1.000. Artinya, daya beli masyarakat akan menurun drastis dengan adanya sanering. Kita jadi tak mampu membeli roti lagi. Biasanya, sanering dilakukan dalam kondisi ekonomi yang tidak sehat dan inflasi yang melejit tidak terkendali.
Konsekwensi logis
dari mata uang yang terus mengalami inflasi akan bertambah terus nol-nya dari
waktu ke waktu. Untuk Rupiah, tiga angka nol yang pernah dibuang dengan susah
payah tahun 1965/1966 melalui apa yang dikenal dengan Sanering Rupiah, tiga
angka nol tersebut 32 tahun kemudian kembali memenuhi angka uang kita bahkan
kembalinya cenderung tidak cukup tiga angka nol, melainkan malah menjadi empat
atau bahkan lima angka nol. Faktanya, kemungkinan
besar hanya uang dengan empat atau lima angka nol yang ada di dompet – karena
yang nolnya hanya tiga kemungkinan sudah untuk bayar parkir, masuk kencleng
infaq atau diberikan sebagai angpao untuk anak kecil.
Akibat dari bertambahnya
angka nol terus menerus tersebut, secara berkala memang dibutuhkan otoritas
yang berani mengambil keputusan untuk me-reset kembali agar
angka-angka nol tersebut kembali ke jumlah semula. Proses me-reset ini
bisa melalui Sanering bila ekonomi lagi gonjang-ganjing, atau melalui proses
Redenominasi bila ekonomi lagi stabil. Yang pertama (Sanering) disertai
penurunan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai, yang kedua
(Redenominasi) hanya pencatatan beberapa angka nol-nya yang dihilangkan
sedangkan daya beli masyarakat seharusnya tidak berubah.
Proses keduanya membuat
panik, menyakitkan, membingungkan dan segala macam konsekwensinya tetapi saya
sendiri berpandangan justru harus dilakukan dengan berani dan cepat. Bila
berlama-lama, justru akan membuat kebingungan dan ketidak pastian yang lama.
Bila kita menutup mata, justru angka-angka nol yang bisa terus bertambah
tersebut akan berlama-lama merepotkan dan menghantui kita semua.
Bila dilakukan dengan
berani dan cepat; rasa sakit tersebut akan berlangsung cepat –namun setelah itu
kita akan bersyukur telah melalui masa yang menyakitkan tersebut. Bayangkan
bila tahun 1965 (diimplementasikan sampai 1966) pemerintah negeri ini tidak
berani mengambil keputusan Sanering – Indonesia mungkin tidak akan pernah bisa
membangun – dan bisa Anda bayangkan berapa angka nol uang kita sekarang?
Bila Redenominasi
tidak dilakukan, ironi yang terjadi seperti yang kita alami sekarang akan terus
berlanjut. Ironi karena rata-rata penduduk Indonesia secara harfiah dapat disebut ‘Jutawan’ (Millionaire) karena PDB Per kapita kita
mencapai lebih dari Rp 24,000,000/tahun, tetapi rata-rata ‘Jutawan’
tersebut adalah orang miskin menurut standar Islam – karena nilai Rp
24,000,000,- ini hanya setara sekitar 16.50 Dinar atau tidak mencapai nisab
zakat yang 20 Dinar.
Bila keputusan
Redenominasi benar-benar dilaksanakan, yang perlu dipersiapkan oleh masyarakat
adalah proses Reorientasi nilai. Mengapa proses ini perlu ?, Penjelasannya:
Pelayan hotel di daerah wisata negeri ini yang dikunjungi banyak turis
asing. mengeluh ketika mereka mengantarkan pesanan room service, sering diberi tips
hanya Rp 1,000,- atau bahkan koin Rp 500,-. Hal yang sama yang terjadi pada
sopir taksi, para wisatawan asing tersebut tidak jarang yang menagih kembalian
meskipun kembalian tersebut hanya Rp 1,000,- atau bahkan Rp 500,-.
Mengapa kesan pelitnya
beberapa turis asing tersebut terjadi ?; inilah masalah Reorientasi nilai itu.
Meskipun sebelum datang ke Indonesia mereka sudah pelajari angka-angka di uang
kita ini dan konversinya ke nilai uang mereka; Orientasi nilai dibenak mereka
masih tetap menyatakan bahwa angka 1,000 atau 500 adalah angka yang besar.
Karena ketika membayar tips dan menagih kembalian, otak mereka tidak selalu
sempat mengkonversi nilai ke angka nilai yang benar – maka itulah yang terjadi,
nilai tips hanya Rp 1,000 dan uang kembalian taksi secara recehan –pun diminta.
Ini pula yang akan terjadi
pada proses Redenominasi, orientasi di otak kita telah terbiasa dengan
angka-angka besar. Ketika angka-angka tersebut berubah menjadi kecil, kita
harus melatih otak kita untuk terbiasa dengan angka-angka yang menjadi kecil
ini. Nampaknya mudah, tetapi karena ini harus terjadi secara massal bagi
seluruh pengguna Rupiah – maka diperlukan sosialisasi yang efektif.
Apa dampaknya bila
Reorientasi nilai tidak berjalan efektif ?, harga-harga bisa kacau. Misalnya si
embok tukang bayem biasa menjual satu ikat bayemnya Rp 2,500,-. Dalam mata uang
Rupiah baru angka tersebut seharusnya menjadi Rp 2.5,- tetapi dibenak si embok
menyatakan bahwa angka Rp 2.5 ini terlalu kecil, maka dinaikanlah harga bayem
dinaikkan menjadi Rp 3,-. Tanpa sadar Anda sebagai pembeli-pun meresponse angka
Rp 3 tersebut dapat diterima karena lebih mudah membayarnya – dan terasa kecil
oleh Anda. Maka apa yang terjadi sesungguhnya adalah inflasi 20% terhadap harga
bayem.
Jadi baik produsen,
pedagang mapun konsumen harus membiasakan kembali response otomatisnya yang
akurat terhadap harga atau nilai barang-barang yang wajar .
Disinilah sebenarnya
keunggulan dan kebenaran Islam itu dapat terbukti dengan jelas. Kita tidak
perlu kehilangan orientasi dalam hal apapun dan kapanpun – karena tuntunannya,
arahannya, nilai-nilainya berlaku baku sepanjang zaman. Seperti sholat yang
kita tidak perlu lagi bertanya menghadap kemana, tinggal kita tahu dimana kita
berada dan dimana Ka’bah berada – maka seluruh umat sepakat kesitulah kita
menghadap.
Demikian pula dalam hal
nilai, kita bisa dengan mudah dan jelas dengan timbangan yang tidak pernah
berubah untuk menimbang siapa yang kaya dan siapa yang miskin dengan nishab
zakat yang 20 Dinar. Yang kaya wajib membayar zakat, yang miskin berhak
menerima zakat – betapa kacaunya hak dan kewajiban ini seandainya nilai nishab
tersebut perlu Sanering ataupun Redenominasi dari waktu kewaktu.
Seandainya saja otoritas yang ada sekarang berani menggunakan
satuan Dinar setidaknya sebagai unit of account atau timbangan yang
adil – maka generasi-generasi yang akan datang dan gubernur-gubernur bank
sentral yang akan datang sampai hari kiamat akan bersyukur – betapa mudahnya
tugas mereka karena tidak harus lagi dari waktu ke waktu mengambil keputusan
yang amat sangat sulit seperti Redenominasi Rupiah ini.
Sekali Dinar digunakan,
nilai/daya belinya stabil – 1 Dinar satu kambing tetap sampai akhir zaman, maka
tidak akan lagi pernah diperlukan Redenominasi atau bahkan Sanering. Bila ini
terjadi maka Reorientasi juga tidak akan perlu dilakukan lagi.
Sumber: Geraidinar.com dan Kompas.com
Komentar
Posting Komentar